Pengelolaan Banjir di Wilayah, Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat pada Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri Prof Owin Jamasy Djamaluddin PhD Ingatkan Pentingnya Manajemen Aset dan Exit Strategy
SERANG, Jagadbanten.id – Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat atau Community Empowerment Specialist (CES) pada Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Prof. Owin Jamasy Djamaluddin, PhD mengatakan banyak bentuk pengelolaan banjir untuk di perkotaan dan perdesaan.
Berdasarkan pencermatan dan partisipasinya pada pengelolaan program Manajemen Risiko Banjir di Wilayah Sungai tertentu atau Flood Management in Selected River Basin (FMSRB) dengan support Loan ADB termasuk salah satu program yang layak menjadi percontohan.
Keunggulan program FMSRB yang dimulai dari akhir tahun 2017 sampai saat ini dengan fasilitasi lintas kementerian diantaranya adalah Kementerian Dalam Negeri, konsisten dengan model pengelolaan banjir terpadu atau Integrated Flood Management (IFM) dengan mengkombinasikan antara opsi kegiatan struktural dan non-struktural serta pendekatannya yang berbasis kepada pemberdayaan yang syarat berorientasi berkelanjutan.
Kolaborasi dan kemitraan di tingkat Kementerian sampai di tingkat basis (desa/kelurahan) masih tetap menjadi ciri dan cara yang dilakukan seluruh unsur stakeholders meskipun masih ada beberapa catatan kritis yang menandakan bahwa program FMSRB belum sampai pada penilaian sempurna.

Program FMSRB Berhasil di Maluku dan Banten
Sampai pada awal tahun 2024 ini program FMSRB telah berhasil membangun ribuan unit infrastruktur yang tersebar di Kota Ambon Provinsi Maluku, dan di 3 kabupaten di Provinsi Banten yakni di Kabupaten Serang, Pandeglang, dan Lebak.
Infrastruktur yang dimaksud antara lain dalam bentuk Cekdam, Tanggul, Embung, Drainase, Tembok Penahan Tebing/Tanah (TPT), Biofori, Pemanenan Air Hujan (PAH), Sumur resapan, Jalur evakuasi dan sejumlah sarana prasarana lainnya.
Pembangunan infrastruktur di Kota Ambon untuk meminimalisir terjadinya banjir di wilayah sungai Ambon-Seram sedangkan di Provinsi Banten untuk meminimalisir banjir di wilayah sungai 3 Ci yakni Ciujung, Cidanau dan Cidurian.
Adanya Partisipasi Masyarakat Lewat KMSB dan Bank Sampah yang Dibentuk atau Diinisiasi Kemendagri Bekerjasama dengan OPD Terkait di Kabupaten/Kota
Sedangkan bentuk partisipasi masyarakat yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai kepada pemanfaatan dan pemeliharaan, telah dibentuk Lembaga Kemasyarakatan Desa yang disebut dengan Kelompok Masyarakat Siaga Bencana (KMSB) dan Bank Sampah.
Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri bekerjasama dengan tim bantuan teknisnya Cs.06 telah membentuk 140 KMSB dan 140 Bank Sampah serta 4 Forum KMSB.
Di dalam berbagai forum pertemuan koordinasi lintas stakeholders, nuansa kebersamaan dengan prinsip kolaboratif dan integratif bukan hanya sebagai persepsi kolektif melainkan terasa sampai di saat melakukan monitoring dan evaluasi gabungan.
Apabila kondisi dan situasi ini terus berlanjut dan terpelihara secara konstruktif, maka keberlanjutan program FMSRB terutama pada aspek pemanfaatan, pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur akan tercapai. “Demikian juga untuk keberlanjutan kelembagaan KMSB dan Bank Sampah akan semakin eksis menuju KMSB berkembang dan mandiri,” kata Owin Jamsy Djamaluddin, dalam keterangannya kepada Jagadbanten.id, Kamis 21 Maret 2024.

Menurutnya, eksistensi KMSB dan Bank Sampah yang bersinergi dengan Pemerintah Desa/Kelurahan dan juga dengan OPD terkait untuk tujuan jangka panjang yakni meningkatkan upaya mitigasi dan sekaligus menyadarkan masyarakat agar selalu waspada terhadap banjir, peduli terhadap pelestarian sungai, serta pengendalian sampah untuk tidak dibuang ke sungai, drainase dan fasilitas umum lainnya.
Ia menegaskan, implikasi dan konsekuensi logisnya adalah konsistensi seluruh unsur stakeholders dan komitmen secara kolektif.
Pentingnya Aspek Manajemen Aset dan Exit Strategy
Owin Jamasy Djamaluddin yang merupakan pengamat pembangunan dan terlibat langsung dalam pengelolaan program FMSRB untuk posisi Community Empowerment Specialist (CES) ini tentu dirinya tak hanya puas dengan pedoman operasional yang lazim berlaku pada setiap program pembangunan.
Peneliti senior Asia e University Malaysia ini juga lebih banyak mengkritisi pentingnya aspek manajemen aset dan exit strategy pada program tersebut.
Menurutnya, kolaborasi kedua aspek tersebut akan terasa lebih penting pada saat pasca program berakhir.
Kedua aspek tersebut juga sangat erat hubungannya untuk: (1) Perencanaan jangka panjang; (2) Pemeliharaan dan pembaruan infrastruktur; dan (3) Penilaian risiko dan respon terhadap perubahan lingkungan dengan merencanakan tindakan mitigasi yang sesuai.
Idealnya kedua aspek tersebut juga tertuang secara operasional pada dokumen rancangan induk atau yang lazim disebut dengan grand design proyek.

Lewat Exit Strategy, Pengelolaan Banjir Memiliki Akhir yang Terencana dan Berkelanjutan
Karena betapa pentingnya aspek exit strategy yang secara konseptual maka dibagi ke dalam 4 tahapan yakni tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap analisis kinerja dan pelaporan, dan tahap keempat yang disebut dengan strategi keberlanjutan.
Keempat tahapan tersebut dikenal juga dengan 3 tahapan yakni Phasing down, Phasing Out dan Phasing Over.
Secara operasional phasing down ditandai dengan tersusunnya rencana kerja (pilihan program), realisasi rencana kerja, secara berangsur atau bertahap ada pengurangan kegiatan program, dan memanfaatkan organisasi lokal seperti KMSB untuk mempertahankan manfaat program.
Phasing out ditandai dengan upaya merancang input pengetahuan, keterampilan, dan pengelolaan asset (struktural dan non struktural).
Phasing over ditandai dengan transfer program kegiatan kepada lembaga atau komunitas lokal seperti KMSB dan nama lain sejenis termasuk langkah kerja pasca program atau yang disebut dengan strategi keberlanjutan program.
Exit strategy sangat diperlukan dalam pengelolaan sebuah program terlebih pada program penanggulangan dan pengelolaan banjir pada program FMSRB.
“Artinya dengan mendetilkan exit strategy dalam bentuk yang lebih operasional, konkret dan terukur, akan mengindikasikan bahwa pengelolaan banjir memiliki akhir yang terencana dan berkelanjutan,” paparnya.

Beberapa Alasan Strategis Pentingnya Exit Strategy Pengelolaan Banjir Berkelanjutan
Inilah beberapa alasan strategis pentingnya aspek exit strategy pengelolaan banjir berkelanjutan :
(1) Penetapan tujuan dan arah yang jelas dan spesifik;
(2) Pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya dengan lebih efisien;
(3) Evaluasi kinerja secara berkala untuk mengukur capaian tujuan, penyesuaian yang diperlukan dan apakah masih ada masalah yang perlu diselesaikan;
(3) Peningkatan peran dan tanggung jawab para pihak;
(4) Pencegahan ketergantungan yang berlebihan dengan mendorong pengembangan solusi jangka panjang yang lebih berkelanjutan;
dan (5) Memastikan efisiensi, efektivitas, dan keberlanjutan.
Sementara implikasinya, kegagalan aspek exit strategy pada pengelolaan banjir yang baik dapat disebabkan oleh sejumlah faktor:
(1) Tidak memperhitungkan perubahan lingkungan termasuk perubahan pola hujan, perubahan tata guna lahan, atau perubahan iklim;
(2) Ketidakstabilan kebijakan termasuk di dalamnya perubahan kebijakan secara tiba-tiba dapat mengganggu implementasi exit strategy yang telah direncanakan dengan baik;
(3) Lemah dalam perencanaan termasuk pemeliharaan infrastruktur dan pemberdayaan kapasitas kelembagaan;
(4) Lemah dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi termasuk pada kinerja infrastruktur dan kelembagaan;
dan (5) Rendah partisipasi dari para pemangku kepentingan/stakeholders yang berdampak kepada ketidakmampuan untuk mengidentifikasi atau mengatasi masalah yang mungkin timbul selama pelaksanaan exit strategy.***