Di Al-Zaytun, Saat Ruang Asrama Jadi Guru dan Bisa “Bicara”
INDRAMAYU, Jagadbanten.id — Minggu, 21 Desember 2025, suasana Masjid Rahmatan Lil Alamin terasa berbeda. Ribuan peserta Simposium Pelatihan Pelaku Didik ke-29 menyelami sebuah fakta mengejutkan: ternyata, bangunan asrama bisa “bicara” dan mendidik santri tanpa suara.
Hadir sebagai narasumber utama, Prof. Dr. Ir. Dhini Dewiyanti Tantarto, M.T., Guru Besar Arsitektur Perilaku dari UNIKOM Bandung.
Beliau membawa gagasan segar bahwa asrama bukan sekadar tempat menumpang tidur, melainkan sebuah laboratorium kehidupan menuju Indonesia Emas 2045.
Ruang Adalah “Guru Ketiga”
Dalam dunia pendidikan, kita mengenal orang tua sebagai guru pertama dan para ustaz/ustazah sebagai guru kedua. Namun, Prof. Dhini memperkenalkan konsep “Ruang sebagai Guru Ketiga” (The Third Teacher).
“Desain itu sebetulnya tidak netral,” tegas Prof. Dhini. “Kita bisa melihat perilaku seseorang itu dengan melihat ruangnya”.
Secara tak sadar, desain bangunan membentuk “kurikulum tersembunyi” (hidden curriculum). Misalnya, koridor yang sempit bukan karena pelit lahan, tetapi secara alami memaksa orang untuk antre dan tertib. Sebaliknya, ruang tengah yang luas (atrium) secara otomatis mengundang interaksi bebas dan kolaborasi.
Meninggalkan Gaya “Barak Militer”
Selama ini, banyak pengelola asrama di Indonesia masih menerapkan gaya kolonial warisan Belanda atau gaya militer. Ciri khasnya: lorong panjang, kamar berderet kaku, dan desain yang melulu fokus pada kemudahan pengawasan.
Menurut Prof. Dhini, gaya ini memang memudahkan disiplin, tetapi bisa menciptakan hubungan sosial yang kaku dan formal. Di sisi lain, asrama bergaya modern yang terlalu bersekat-sekat juga berisiko membentuk karakter santri yang individualis.
Prof. Dhini mendorong Al-Zaytun untuk mengambil jalan tengah:
Paradigma Humanis.
Kita harus mendesain asrama untuk memanusiakan penghuninya. Dia harus menjadi tempat santri bisa hidup, tumbuh, dan berkembang, bukan sekadar objek pantauan CCTV 24 jam.
Mitos Ruang Bermain Cuma Ayunan
Prof. Dhini juga meluruskan salah kaprah tentang ruang bermain. Banyak orang dewasa berpikir ruang bermain itu cukup berisi ayunan dan perosotan. Padahal, kebutuhan main santri berubah seiring usia.
Bagi santri usia dini, mainan ekstrem itu berbahaya. Mereka lebih butuh stimulasi indra, seperti bermain pasir, air, atau merasakan tekstur rumput dan batu.
Lain lagi untuk santri yang lebih besar. Ayunan sudah membosankan. Mereka butuh tantangan! Prof. Dhini menyarankan kita membuat labirin tanaman atau area petualangan yang memicu rasa ingin tahu. Bahkan, pengelola bisa menyulap pohon dan batu besar di halaman menjadi area main tradisional, seperti benteng-bentengan untuk melatih strategi dan kekompakan.
Menghadirkan Rasa “Nano-Nano”
Manusia itu kompleks, begitu juga santri. Prof. Dhini menyarankan agar asrama memiliki variasi suasana yang beliau sebut “Rasa Nano-Nano”.
Artinya, asrama wajib menyediakan gradasi ruang yang lengkap:
Ruang Publik & Komunal: Tempat untuk kolaborasi dan keramaian.
Ruang Privat: Kita sering melupakan hal ini. “Anak itu kadang-kadang butuh privacy… saya tuh lagi nggak pengin sama teman-teman,” ujar Prof. Dhini.
Ruang Transisi: Jangan biarkan lorong, tangga, atau selasar mati tanpa fungsi. Ubah ruang-ruang itu menjadi ruang budaya. Pasang mading karya santri atau sediakan tempat duduk santai di selasar agar percakapan informal antara santri dan gurunya bisa terjadi.
Seni Merotasi Kamar
Topik menarik lain muncul dalam sesi tanya-jawab, yakni kebijakan rotasi (perpindahan) kamar santri yang berjalan rutin di Al-Zaytun.
Secara teori, rotasi ini sangat bagus untuk melatih kemampuan adaptasi sosial (social agility). Santri tidak hanya bergaul pada lingkar pertemanan yang itu-itu saja.
Namun, Prof. Dhini mengingatkan pengelola untuk menjalankan kebijakan ini dengan hati. Tidak semua anak mudah beradaptasi. Ada tipe anak yang butuh waktu lama untuk merasa aman.
“Jangan terlalu ‘diaduk’ banget,” saran beliau.
Strategi cerdasnya adalah menyisakan satu atau dua teman lama di kamar yang baru sebagai backing. Dengan begitu, santri yang pendiam tidak merasa sendirian di lingkungan baru, sehingga proses adaptasi berjalan lebih mulus tanpa stres berlebih.
Menuju 2045
Pada akhirnya, diskusi hari itu menyimpulkan bahwa asrama merupakan simulasi kecil dari kehidupan berbangsa. Jika kita mendesain ruang dengan benar—memadukan ketertiban, keamanan, dan kehangatan—dari lorong-lorong asrama inilah akan lahir karakter pemimpin masa depan yang tangguh, tetapi tetap peka terhadap sesama.
Penulis : Raviyanto